Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika tentang Konten Multimedia yang telah disusun oleh
Depkominfo beberapa saat yang lalu sedang diuji publik dari tanggal 11
Februari 2010 s/d 19 Februari 2010 untuk mendapatkan masukan dari
masyarakat agar RPM tersebut lebih sempurna dan penerapannya dapat
efektif.
Sebenarnya, RPM Konten Multimedia
merupakan pengaturan lebih lanjut atas Konten yang dilarang dalam UU No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
meliputi diantaranya perjudian, pornografi, penghinaan dan pencemaran
nama baik, berita bohong. RPM Konten Multimedia merupakan pengaturan
secara teknis mengenai tanggungjawab Penyelenggara jasa Multimedia dan
peran Tim Konten Multimedia dalam mengawasi dan melakukan tindakan
terhadap konten yang dilarang.
Dalam UU ITE, khususnya bab VII melarang
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan seperti melanggar
kesusilaan, perjudian, pemerasan dan/atau pengancaman, berita bohong.
Frasa "Setiap Orang" menunjukkan keberlakuannya baik terhadap
Penyelenggara maupun Pengguna jasa Multimedia.
RPM Konten Multimedia dimaksudkan untuk
melindungi kepentingan umum dari perbuatan orang lain yang
menyalahgunakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
Perlindungan kepentingan umum tersebut dilakukan dengan cara
meningkatkan tanggungjawab Penyelenggara jasa Multimedia dan peran Tim
Konten Multimedia, tanpa bermaksud untuk meniadakan tanggungjawab
Pengguna. Dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c RPM Konten Multimedia dinyatakan
bahwa “keharusan bagi Pengguna untuk tunduk pada hukum negara Republik
Indonesia”. Hal ini berarti bahwa ketika Pengguna memuat konten yang
dilarang maka Pengguna akan dijerat dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku diantaranya UU ITE.
Dalam masa uji publik RPM Konten
Multimedia telah menuai banyak tanggapan dari berbagai kalangan
masyarakat. Pada bagian berikut ini, beberapa komentar dari saya atas
tanggapan tersebut.
Tanggapan 1 :RPM
cuma di arahkan ke Wadah, Media, dan Providernya. Sementara pada hari
ini content lebih banyak bersifat Blog, Diskusi di Forum atau Tweet. Di
dunia Internet, prinsip tanggung jawab yang di pegang adalah end-to-end.
RPM tidak mengatur sama sekali pertanggung jawaban sumber berita /
informasi /pengupload.
Komentar saya : RPM ini
memang lebih dominan mengatur tentang tanggungjawab Penyelenggara jasa
Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia dalam mengawasi dan melakukan
tindakan terhadap konten yang dilarang. Meskipun demikian, dalam Pasal 9
ayat 1 huruf c jelas bahwa pertanggungjawaban bukan hanya pada
Penyelenggara tetapi juga pada Pengguna. Apalagi, dalam UU ITE sudah
ditegaskan larangan setiap orang (baik Penyelenggara maupun Pengguna)
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang bermuatan dilarang.
Tanggapan 2 :Dalam
Pasal 8(c) dimana penyelenggara wajib memantau seluruh Konten dalam
layanannya yang dimuat, ditransmisikan, diumumkan, dan/atau disimpan
oleh Pengguna yang dilakukan dengan cara melakukan penyaringan. Tindakan
penyaringan tidak mudah dilakukan.
Komentar saya : Penyaringan
yang dimaksudkan dalam Pasal 8(c) memperhatikan pula kemampuan dari
Penyelenggara jasa Multimedia. Penyelenggara menyediakan sarana
penyaringan menurut upaya terbaik Penyelenggara sesuai dengan kapasitas
Teknologi Informasi, kapasitas finansial, dan otoritas yang dimilikinya
(sudah dijelaskan dalam Pasal 10 ayat 1).
Tanggapan 3 :Dalam
pasal 9 ayat 1 huruf b yang mewajibkan keharusan bagi pengguna untuk
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai identitas dan
kontaknya saat mendaftar dianggap tidak ada jaminan, karena di Internet
orang sering mendaftar dengan alamat palsu.
Komentar saya : Seorang
pengguna mungkin saja memalsukan identitasnya, tetapi tentu tindakan
tersebut akan merugikan pengguna itu sendiri. Ketika Penyelenggara
melakukan penutupan akses (blocking) terhadap konten yang dimuat oleh
Pengguna, maka dengan memalsukan identitasnya, dia tidak dapat
menggunakan haknya untuk melakukan upaya hukum atas keberatan terhadap
tindakan Penyelenggara tersebut.
Tanggapan 4 :Pasal
14 yang memungkinkan penyelenggara wajib meminta pengguna untuk
menghapus dari Sistem Elektronik Penyelenggara Konten yang telah
diputuskan oleh Penyelenggara atau Tim Konten Multimedia sebagai Konten
yang dilarang bisa diterjemahkan sangat represif.
Komentar saya : Dalam
Pasal 2 ayat 2 dinyatakan "Tujuan dari pembentukan Peraturan Menteri
Kominfo ini adalah untuk memberikan pedoman kepada Penyelenggara untuk
bertindak secara patut, teliti, dan hati-hati dalam menyelenggarakan
kegiatan usahanya yang terkait dengan Konten Multimedia". RPM ini sudah
jelas meminta Penyelenggara untuk bertindak hati-hati, teliti, dan
secara patut untuk menghindari tindakan represif. Selanjutnya, dalam
Pasal 14 ayat 3 dinyatakan "Penyelenggara dapat menghapus Konten
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila ada putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap". Hal ini menunjukkan bahwa Penyelenggara
tidak boleh melakukan tindakan secara represif langsung melakukan
penghapusan konten yang dilarang tetapi harus mendapatkan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Apalagi dalam Pasal 20
ayat 1 dinyatakan bahwa "Direktur Jenderal berwenang melakukan
pemantauan dan penilaian untuk mendorong Penyelenggara mematuhi
Peraturan Menteri ini". Hal ini berarti bahwa Penyelenggara tidak boleh
bertindak sewenang-wenang dan selalu dalam pengawasan atau pemantauan
Direktur Jenderal.
Tanggapan 5 :Dalam
RPM pasal 20 juga diungkapkan bahwa seorang Direktur Jenderal dapat
menjadikan penilaiannya atas kepatuhan Penyelenggara dalam melaksanakan
Peraturan Menteri ini sebagai salah satu indikator prestasi
Penyelenggara dalam melaksanakan ijin penyelenggaraan jasa Multimedia.
Di pasal 20 ini ada kata-kata ijin penyelenggaraan jasa Multimedia. Jadi
blogger & penulis web harus minta ijin kah?
Komentar saya : Blogger
dan penulis Web sebagai Pengguna jasa Multimedia bukan yang dimaksudkan
dalam Pasal 20. Blogger dan penulis Web terikat dengan ketentuan Pasal 9
ayat 1, yakni:
- larangan bagi Pengguna untuk memuat Konten yang menurut Peraturan Menteri ini merupakan Konten yang dilarang;
- keharusan bagi Pengguna untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai identitas dan kontaknya saat mendaftar;
- keharusan bagi Pengguna untuk tunduk pada hukum negara Republik Indonesia;
- keharusan bagi Pengguna untuk menyetujui bahwa jika Pengguna melanggar kewajibannya, maka Penyelenggara dapat menutup akses (blocking) Akses dan/atau menghapus Konten Multimedia yang dimaksud;
- keharusan bagi Pengguna untuk menyetujui ketentuan privasi yang paling sedikit mengenai: kesediaan Pengguna untuk mengizinkan Penyelenggara menyimpan data pribadi dan data penggunaan layanan; dan/atau kesediaan Pengguna untuk mengizinkan Penyelenggara mengungkapkan data pribadi dan data penggunaan layanan kepada aparat penegak hukum dan/atau Menteri apabila ada dugaan mengenai perbuatan melawan hukum terkait pemuatan suatu Konten.
Tanggapan 6 :Kalau
mencermati pasal 9 ayat 2 berbunyi “Penyelenggara dilarang membuat
aturan penggunaan layanan yang menyatakan bahwa Penyelenggara tidak
bertanggungjawab atas penyelenggaraan jasanya yang digunakan untuk
memuat, mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diaksesnya,
dan/atau menyimpan Konten Multimedia”. Kelihatannya, Penyelenggara dalam
hal ini harus bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukan pengguna
dalam layanan yang disediakannya. Pengguna tidak didorong untuk
bertanggungjawab terhadap apa yang diproduksinya.
Komentar saya:Penyelenggara
bertugas mengawasi dan melakukan tindakan terhadap keberadaan konten
yang dilarang yang dimuat oleh pengguna. Sepanjang pengguna tidak memuat
konten yang dilarang maka Penyelenggara tidak akan menutup akses
(blocking) ke konten itu. Pengguna tidak perlu cemas sepanjang konten
yang dimuat tidak melanggar aturan. Tentu, Pengguna juga turut
bertanggungjawab terhadap apa yang diproduksinya atau dimuatnya. Hal ini
sudah diterangkan dalam Pasal 9 ayat 1 huruf c bahwa “keharusan bagi
Pengguna untuk tunduk pada hukum negara Republik Indonesia”. Pengguna
yang memuat konten yang dilarang maka dia dapat dijerat dengan
pasal-pasal pidana dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Misalnya, orang yang memuat konten pornografi
diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tanggapan 7 :Bandingkan
dengan ketentuan layanan yang dipasang di Twitter.com. “All Content,
whether publicly posted or privately transmitted, is the sole responsibility of the person who originated such Content. We may not monitor or control the Content posted via the Services and, we cannot take responsibility for such Content.
Any use or reliance on any Content or materials posted via the Services
or obtained by you through the Services is at your own risk”. Maka
ucapkan selamat tinggal kepada Twitter.com kalau peraturan ini (RPM
Konten Multimedia) benar-benar disahkan dan berlaku.
Komentar saya :Memang
benar beberapa layanan seperti Twitter.com menyerahkan sepenuhnya
tanggungjawab konten pada orang yang memuatnya. Masalahnya, orang yang
memuat konten yang dilarang sering menggunakan identitas yang palsu,
sehingga akan menyulitkan aparat penegak hukum untuk menjerat pengguna
itu. Oleh karenanya, diperlukan peran Penyelenggara jasa Multimedia
untuk melakukan penutupan akses terhadap konten yang dilarang.
Tanggapan 8 :Pada
prinsipnya, dalam UUD, mengeluarkan pendapat baik tulisan atau lisan dan
kebebasan berbicara itu diatur oleh UU. Bukan oleh Permen atau PP.
Komentar saya :Pengaturan
mengenai konten yang dilarang sudah ada dalam UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). RPM Konten
Multimedia mengatur secara teknis mengenai tanggungjawab Penyelenggara
jasa Multimedia dan peran Tim Konten Multimedia dalam mengawasi dan
melakukan tindakan terhadap konten yang dilarang. RPM Konten Multimedia
lahir sebagai bentuk peran Pemerintah seperti termuat dalam Pasal 40
ayat 2 UU ITE yakni ”melindungi kepentingan umum dari segala jenis
gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan
Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum”.
Tanggapan 9 :Dalam
pasal 7 huruf a dinyatakan : Penyelenggara dilarang mendistribusikan,
mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang
mengandung muatan privasi, antara lain Konten mengenai isi akta otentik
yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang,
riwayat dan kondisi anggota keluarga, riwayat, kondisi dan perawatan,
pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang, kondisi keuangan,
aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang, hasil-hasil evaluasi
sehubungan dengan kapabilitas, intelektualitas, dan rekomendasi
kemampuan seseorang, dan/atau catatan yang menyangkut pribadi seseorang
yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan
pendidikan nonformal. Artinya, penyedia layanan website dilarang
menampilkan informasi pribadi seperti alamat, nomor telepon, email,
tanggal lahir dan lain-lain. Jadi urungkan niat anda untuk mengumbar
data pribadi anda (mungkin termasuk mengunggah CV/Biografi) ke internet.
Komentar saya :Pasal
7 huruf a dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pengguna yaitu
melindungi konten yang mengandung muatan privasi milik pengguna. Bisa
dibayangkan apa jadinya bila Penyelenggara jasa Multimedia mengumbar
data pribadi dari seorang pengguna seperti kondisi keuangan atau aset
yang dimilikinya ke publik, tentu pengguna tersebut merasa dirugikan.
Dalam UU ITE pada pasal 32 ayat 3 jo Pasal 48 ayat 3 dinyatakan bahwa
Bagi setiap orang secara sengaja, tanpa hak, atau melawan hukum
mengakibatkan terbukanya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang bersifat rahasia menjadi dapat diakses oleh publik
dengan keutuhan data yang tidak sebagaimana mestinya diancam dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Tanggapan 10 :Ada
hak istimewa yang diberikan oleh RPM ini kepada penyelanggara, seperti
tertulis pada Bab III pasal 8, “Penyelenggara wajib memantau seluruh
Konten dalam layanannya yang dimuat, ditransmisikan, diumumkan, dan/atau
disimpan oleh Pengguna…” yang diteruskan dengan butir b pada pasal yang
sama “melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna terhadap aturan
penggunaan layanan Penyelenggara”. Bayangkan, penyelenggara wajib
memeriksa satu demi satu konten yang menuju ke pengguna, dan juga konten
yang berasal dari pengguna. Hal ini termasuk website apa saja yang
dilihat oleh pengguna, email apa saja yang diterima dan dikirimkan oleh
pengguna. Secara teknis, tentu saja hal ini hampir mustahil bisa
dijalankan.
Komentar saya:Pasal 8 mewajibkan Penyelenggara melakukan pemantauan konten dengan cara :
- membuat aturan penggunaan layanan;
- melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan Pengguna terhadap aturan penggunaan layanan Penyelenggara;
- melakukan Penyaringan;
- menyediakan layanan Pelaporan dan/atau Pengaduan;
- menganalisa Konten Multimedia yang dilaporkan dan/atau diadukan oleh Pengguna; dan
- menindaklanjuti hasil analisis atas Laporan dan/atau Pengaduan dari suatu Konten Multimedia
Jadi, Penyelenggara tidak memeriksa satu
demi satu konten yang menuju ke pengguna, dan juga konten yang berasal
dari pengguna, tetapi memeriksa konten berdasarkan pelaporan dan/atau
pengaduan. Seseorang yang melaporkan ke Penyelenggara bahwa terdapat
konten yang dilarang yang dimuat oleh seorang pengguna, maka
Penyelenggara wajib menanggapi laporan tersebut dengan menganalisa
konten tersebut, lalu menindaklanjuti hasil analisis tersebut.
Penyelenggara melakukan pemeriksaan mengenai kepatuhan pengguna terhadap
aturan penggunaan layanan penyelenggara yang termuat dalam Pasal 9 ayat
1 (lihat sebelumnya di tanggapan 5).
* Penulis adalah Dosen dan Praktisi Hukum Telematika di Indonesia.
Sumber: ronny-hukum.blogspot.com
Sumber: ronny-hukum.blogspot.com
0 komentar
Silahkan Beri Komentar Saudara...