LIE Detector merupakan alat untuk melakukan tes kebohongan. Dengan alat ini akan terdeteksi apakah seseorang jujur atau bohong. Alat ini biasa dipakai di pengadilan, baik terhadap terdakwa maupun saksi untuk menguji kadar kebohongan mereka.
Lie detector mendeteksi adanya kebohongan dari sistem gelombang. Bila seseorang berbohong, maka gelombang akan bergerak cepat. Sebaliknya, jika seseorang berkata jujur, maka gelombang tidak bergetar dengan cepat dan tidak terdeteksi oleh lie detector.
Caranya adalah dengan menghubungkan alat ini ke bagian tubuh (dada, jari, leher, tangan, dan lainnya). Dengan cara ini akan terpantau perubahan tekanan darah, resistensi listrik pada kulit, adanya keringat yang berpeluh, serta kecepatan degup jantung dan pernapasan.
Seluruh aktivitas otak dapat terpantau dan kesadaran untuk berbohong sukar dilakukan karena dapat terdeteksi dengan alat ini. Hal ini dimungkinkan karena manusia menggunakan bagian berbeda dari otaknya saat mencoba berbohong. Dengan lie detector computerized system, maka kebohongan dapat dilacak.
Analisis mengenai hasil tes lie detector disebut polygraph, yaitu sebuah instrumen yang dapat mengukur dan menyimpan berbagai respons psikologis, seperti tekanan darah, detak jantung, kondisi kulit tubuh pada saat diajukan sejumlah pertanyaan.
Lie detector lazim digunakan di negara-negara maju, terutama negara dengan tingkat krimininalitas (termasuk kejahatan kerah putih) cukup tinggi. Di Amerika Serikat, lie detector sering digunakan untuk membantu mengungkapkan kasus krimininal. Namun pelaksanaannya dilakukan pihak independen, biasanya psikolog, dan hasil akhir untuk menilai tingkat kebohongan itu juga ditangani psikolog tersebut.
Polisi yang menangani kasus, biasanya akan menerima hasil yang sudah matang dari psikolog tersebut. Ahli hukum di sana berpendapat, psikolog tentunya lebih memahami ilmu kejiwaaan, sehingga apabila pemeriksaan melalui lie detector oleh psikolog, maka hasilnya akan lebih objektif dan akurat.
Indonesia yang saat ini dipenuhi dengan kasus korupsi, rasanya sudah layak untuk memanfaatkan teknologi lie detector. Namun, faktanya penggunaan alat ini belum menjadi kebutuhan yang mendesak.
Negara kita lebih suka membentuk bermacam-macam komisi, tim pencari fakta, atau satgas, daripada menginvestasikan anggaran untuk membeli alat lie detector. (Sulistiyo Suparno-24)
sumber : suaramerdekacetak
Lie detector mendeteksi adanya kebohongan dari sistem gelombang. Bila seseorang berbohong, maka gelombang akan bergerak cepat. Sebaliknya, jika seseorang berkata jujur, maka gelombang tidak bergetar dengan cepat dan tidak terdeteksi oleh lie detector.
Caranya adalah dengan menghubungkan alat ini ke bagian tubuh (dada, jari, leher, tangan, dan lainnya). Dengan cara ini akan terpantau perubahan tekanan darah, resistensi listrik pada kulit, adanya keringat yang berpeluh, serta kecepatan degup jantung dan pernapasan.
Seluruh aktivitas otak dapat terpantau dan kesadaran untuk berbohong sukar dilakukan karena dapat terdeteksi dengan alat ini. Hal ini dimungkinkan karena manusia menggunakan bagian berbeda dari otaknya saat mencoba berbohong. Dengan lie detector computerized system, maka kebohongan dapat dilacak.
Analisis mengenai hasil tes lie detector disebut polygraph, yaitu sebuah instrumen yang dapat mengukur dan menyimpan berbagai respons psikologis, seperti tekanan darah, detak jantung, kondisi kulit tubuh pada saat diajukan sejumlah pertanyaan.
Lie detector lazim digunakan di negara-negara maju, terutama negara dengan tingkat krimininalitas (termasuk kejahatan kerah putih) cukup tinggi. Di Amerika Serikat, lie detector sering digunakan untuk membantu mengungkapkan kasus krimininal. Namun pelaksanaannya dilakukan pihak independen, biasanya psikolog, dan hasil akhir untuk menilai tingkat kebohongan itu juga ditangani psikolog tersebut.
Polisi yang menangani kasus, biasanya akan menerima hasil yang sudah matang dari psikolog tersebut. Ahli hukum di sana berpendapat, psikolog tentunya lebih memahami ilmu kejiwaaan, sehingga apabila pemeriksaan melalui lie detector oleh psikolog, maka hasilnya akan lebih objektif dan akurat.
Indonesia yang saat ini dipenuhi dengan kasus korupsi, rasanya sudah layak untuk memanfaatkan teknologi lie detector. Namun, faktanya penggunaan alat ini belum menjadi kebutuhan yang mendesak.
Negara kita lebih suka membentuk bermacam-macam komisi, tim pencari fakta, atau satgas, daripada menginvestasikan anggaran untuk membeli alat lie detector. (Sulistiyo Suparno-24)
sumber : suaramerdekacetak
0 komentar
Silahkan Beri Komentar Saudara...